Review Buku “Dilarang Mengutuk Hujan” Iqbal Aji Daryono – Ini kali ke 3 aku membaca novel berkas 2 puluh satu artikel opsi yang bertajuk Dilarang Menyumpahi Hujan, buatan Iqbal Aji Daryono( IAD). Bukan sebab aku tidak mempunyai novel pustaka lain tidak hanya ini, tetapi sebab tiap kali aku berjumpa hujan serta mulai mau mengeluhkannya( karena sebagian hal aku jadi tertunda), tidak tahu mengapa ingatan aku senantiasa tertuju pada novel ini.
Review Buku “Dilarang Mengutuk Hujan” Iqbal Aji Daryono
Baca Juga : Review Buku Berjudul All The Bright Places
bookcafe – Terlebih lagi sebab baru- baru ini negara kita acap kali diterpa cuaca kurang baik, banjir, gugur, serta angin cepat. Banyak yang beranggapan kalau hujan dengan keseriusan rimbun sampai berlebihan amat mempengaruhi kepada musibah itu.
Aku lalu terkenang dengan apa yang dituliskan IAD pada artikel Dilarang Menyumpahi Hujan, kalau hujan tuh mendekati cinta: beliau jadi bantuan cuma kala dicurahkan dalam jatah yang lumayan serta di dikala yang pas. Selebihnya, too much love will kill you.
Betul, memanglah betul- betul dapat menewaskan, menewaskan dalam arti literal. Kenyataannya, musibah itu sudah merenggut tidak sedikit jiwa.
Bolehkah Mengumpati Hujan
“ Lalu apakah kita jadi bisa mengumpati hujan? Senantiasa aku tidak berani. Pamali.” ucapnya. Aku juga tidak.
Ajakan supaya janganlah memarahi hujan, telah berulang kali beliau dengar ketika kecil. Tetapi untuk para orang berumur, mendingan menyudahi membagikan rasionalisasi atas pelarangan memarahi hujan. Cukuplah bilang,“ Nak, janganlah memarahi hujan.” Titik. Tidak harus neko- neko gunakan uraian objektif.
Dalam hidup ini, rasanya tidak seluruh perihal pantas dirasionalkan. Senantiasa terdapat sektor- sektor yang hendaknya didiamkan saja bermukim dalam zona rahasia, serta tidak harus diutak- utik lagi, sedemikian itu tuturnya. Serta betul, pasti saja aku akur.
Iqbal Aji Daryono: Kabar Kematian yang Biasa Saja
Untuk aku, esai- esai IAD yang dikemas dalam novel setebal seratus 6 puluh 6 laman ini, dengan cara totalitas menarik. Bermacam perihal yang sebelumnya nampak simpel, jadi penuh arti.
Macam realita kehidupan diolah sedemikian muka lewat cara perenungan yang matang, serta walaupun diracik dengan kalimat- kalimat yang seakan tidak mau melepaskan faktor kesederhanaannya, tetapi sangat terkesan elegan serta bergengsi.
Semacam pada salah satu esainya yang bertajuk Berita Kematian yang Lazim Saja, biarpun terasa enteng serta lezat dibaca tetapi senantiasa bermutu serta sarat arti.
Baginya, bersamaan dengan kerapnya kita mengikuti berita gelisah, tidak bimbang, kita lagi berkerumun ke suasana hati yang memandang kematian selaku suatu perihal yang seakan lazim. Wajar saja semacam tradisi setiap hari. Ini sangat seram.
Kala esoknya kita terus menjadi kerap mengikuti berita kematian, dapat jadi kita hendak terus menjadi ceroboh. Terus menjadi merasakan kematian selaku perihal ringan tiap hari yang biasa- biasa saja, yang dapat kita hadapi semata- mata dengan copas perkataan template:“ Innalillahi wainna ilaihi rojiun, ikut berkabung sedalam- dalamnya.”
Kayaknya, di hari seperti itu timbul kejadian manusiawi yang sebetulnya. Begitu IAD memungkasi artikel ini. Serta, lagi- lagi aku akur dengannya.
Iqbal Aji Daryono: Orangtua dan Ambisi
Membaca esai- esai IAD, membuat aku merasa seakan lagi menjelajahi lekuk- lekuk buah pikirannya sambil berlatih berasumsi kritis serta teliti dalam memandang subjek kehidupan dengan tidak common sense.
Lewat Orangtua serta Tekad, IAD membidik sikap orangtua yang ternyata mengajak anak buat masuk ke dalam hawa kompetisi segar serta bersih, ataupun supaya anak berlatih kuat dalam menyambut kekalahan, yang nampak bugil justru banyak orang yang mau anak mereka mencapai kemenangan dengan metode apa saja. Serta yang lebih mencengangkan, kejadian semacam ini nyatanya berjalan dengan padat, di mana- mana.
Ambalan orangtua yang memerintahkan kanak- kanak buat senantiasa menetek serta ngumpet di ketek mereka itu lalu berjalan. Kita memandang para administratur yang tanpa malu menyediakan kanak- kanak mereka buat maju jadi calon ini- itu. Selagi ayah mereka sedang memiliki daya serta massa. Hebatnya, dengan amat bebas serta penuh kebijaksanaan, kadangkala kala kita membagikan segunung permakluman( laman 139).
Takut Angka
Untuk yang sudah bersahabat dengan buku- buku IAD, pasti hendak amat memaklumi bila aku berterus terang senantiasa terpesona tiap kali mendapati tulisan- tulisannya. Gimana tidak? Semata- mata hasil pengecekan lab kesehatannya saja, dengan mudahnya dapat langsung diganti jadi suatu artikel yang bertajuk Khawatir Nilai.
Serta ingatan mengenai umurnya yang mulai merambah kepala 4 juga, mendadak dapat dielaborasi menciptakan sebagian alinea terkini. Aku kerap kali terbengong- bengong, gimana gagasan fresh itu dapat lalu berkembang serta tidak habisnya berantakan dalam kepalanya.
Baca Juga : 5 Buku Terlaris di Kalangan Milenial
Dari Mana Candu Bermula
Juga begitu dengan artikel Dari Mana Kegemaran Berasal, IAD menceritakan kehidupan kaum Sasak yang nyaris semua masyarakat di situ memanglah hanya dapat berbicara Sasak. Lebih hebat lagi, mereka pula tidak tahu dengan dasar jauh versi meter- meteran begitu juga yang kita gunakan, tidak tahu pula sistem penanggalan Kristen, serta tidak tahu tidak tahu apa lagi. Karena mereka tidak sekolah. Mendadak yang terlalui merupakan keadaan sejenis keterbatasan akses, ataupun kebegoan, ataupun antipati pada perkembangan.
Toh faktanya mereka dapat senantiasa survive dalam suasana semacam itu. Alhasil rasanya hal sekolah serta tidak sekolah cumalah pertanyaan opsi.
Sialnya, kita kerap kali terletak dalam suasana tidak dapat memilah di tengah pilihan- pilihan. Tidak dapat menghasilkan keadaan mana suka betul- betul semata selaku hal mana suka. Senantiasa terdapat saja titik berat.
“ Kita tidak dapat hidup tanpa wifi. Kita tidak dapat hidup tanpa Instagram serta Tiktok. Kita tidak dapat hidup tanpa email serta Google Drive. Kita tidak dapat hidup tanpa Zoom. Kita tidak dapat hidup tanpa film call…”
Itu bukan suara para anak muda desa adat berbicara Sasak. Itu suara kita, yang telah kurang ingat gimana dahulu awal kali terhampar dengan makhluk- makhluk yang diucap itu, kemudian tahu, kemudian mengakses, serta kesimpulannya berakhir pada kecanduan
Aku senang dengan style menulis IAD yang terkesan memotong jarak dengan pembaca, mengarah berbicara lisan serta berkepribadian dialogis. Tiap kali membaca tulisannya, terasa seakan lagi berbicara dengannya. Sedemikian itu dekat, hampir tanpa sekat. Metode bertuturnya mengasyikkan, asyik, asyik serta tidak buat jenuh. Bila pada tutur pengantarnya Edi AH Iyubenu mengatakan IAD bagaikan pendulum, aku menyebutnya kegemaran.